Ads 468x60px

Labels

artikel (15) cerita (9) cerpen (3) curhat (15) osc (1)

tinggalkan kesan ! :)

Jumat, 05 Agustus 2011

Cerpen buatan gue :D - Dunia itu Letaknya Ditangan, Bukan Dihati :)

Dunia itu Letaknya Ditangan, Bukan Dihati
karya Ines Sherly Zahrina

Sunyi menemani saat kucoba memainkan jemari, merangkai kata yang akan kutulis di lembaran kertas kosong di hadapanku. Sambil sesekali kupandangi rumah tempatku bernaung selama ini, masih sepi seperti biasanya. Nenek yang mengasuhku selama ini terlihat bingung. Ia lalu bertanya apa yang sedang aku lakukan. Aku hanya menjawab dengan senyum getir. Mataku terpejam menikmati suasana yang sudah menjadi sahabatku sejak sepuluh tahun silam. Suasana tenang yang dapat dibilang sepi tanpa ada sentuhan keceriaan karena kehangatan kasih sayang orang tua seperti di sinetron-sinetron yang sering kulihat. Perbandingan yang tidak sepadan.

Kucoba untuk mengumpulkan serpihan memory yang ada didalam otakku. Mengingat kembali perjalanan hidupku dari aku lahir. Aku lahir di keluarga sederhana dan lahir dari rahim seorang ibu lembut namun kuat yang sangat mencintai keluarganya dengan rela hidup sulit demi mendampingi seorang suami yang belum jua mendapat pekerjaaan tetap. Aku mengingat lagi cerita dari orang-orang yang mengatakan bahwa kala aku kecil, untuk membeli sebotol susu untukku saja tak mampu. Namun cinta kasihnya membuat ia tabah dan rela berkorban.
Ayahku? Dia adalah seorang pria yang tak pernah menyerah. Walaupun orang-orang banyak yang mencemoohnya.
 “Dasar pria bodoh! Mau kau kasih makan apa anak dan istrimu itu? Gajimu saja tidak cukup untuk mereka makan sehari-hari.”
Ya, kalimat itulah yang sering ia dengar. Kalimat yang membuat harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga seakan dikoyak dengan beribu-ribu belati. Membuat tiap rasa sakitnya menjadi sebuah cambuk agar ia bisa membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik.
Itulah yang membuat ayah semakin menguatkan tekadnya untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke tanah asing di pedalaman Riau yang belum pernah ia datangi sebelumnya.  Demi sebuah pekerjaan, agar aku dan ibuku dapat makan walau hanya sesuap nasi. Ia meninggalkan aku dan ibuku selama lebih dari setahun saat masa training pekerjaannya tersebut. Dengan pengharapan tinggi kami selalu menunggu pulang ayahku. Bulan demi bulan berganti, akhirnya setelah setahun menunggu ayah pulang membawa sebuah kabar. Entah sebuah kabar baik karena ia diterima bekerja di Riau, atau sebuah kabar buruk karena aku dan ibuku harus ikut tinggal disana.
Kalimat pertama yang aku ucapkan ketika menginjakkan kaki di Riau adalah,  “Tempat macam apa ini?”. Memang ternyata kehidupan di Riau pun masih jauh dari layak. Kesabaran kami benar-benar dipertaruhkan disana. Kami tinggal disebuah rumah kecil berdinding kayu, berlantai tanah dan beratap genting lapuk yang ketika hujan selalu bocor. Tak ada televisi, radio, bahkan listrik hanya hidup selama sepuluh jam dalam sehari. Bagai hidup dalam penjara, kehidupan kami benar-benar terasingkan dari kehidupan luar. Berada ditengah hutan sawit yang gelap dan lebat. Dibutuhkan waktu seharian penuh menuju pasar terdekat. Untuk ke pasar kami harus menumpang bus tua dan menyusuri jalan terjal dimana babi hutan dan hewan liar lainnya sering melintas. Tak ada apapun. Untuk menghubungi keluarga di Lampung saja sulit. Seperti ayam ditambat disambar elang, ikan dipanggang tinggallah tulang.

Namun tak pernah kami mengeluh. Kami diberi berkah ditengah kesulitan yang sedang dihadapi. Aku mendapatkan adik baru yang sangat menggemaskan. Maka dari itu aku sangat menghargai perjuangan kedua orang tuaku. Tiap peluh yang mengalir dari tubuh mereka merupakan tanda kasih pada keluarganya. Tak ada yang lebih membahagiakan dibanding hidup dengan orang tua yang rela melakukan apapun untuk anaknya. Memang cinta kasih orang tua sepanjang masa. Mereka tak pernah menghitung-hitung apa yang telah mereka korbankan agar anaknya dapat tumbuh dengan baik. Tak pernah terbayangkan saat itu bahwa kelak aku akan terpisah jauh dari mereka. Dan perlahan kehidupan kami mulai membaik dengan menanjaknya karir ayahku. Namun kami masih tinggal di pedalaman Riau yang terasingkan dari dunia luar.


Jauhnya jarak yang ditempuh untukku ke sekolah membuat membuat sebuah keputusan yang sangat menyakitkan. Mereka memutuskan agar aku bersekolah di Lampung, terpisah jauh dari mereka. Dengan pertimbangan Lampung memiliki sekolah yang lebih  baik dibanding Riau saat itu. Mereka tidak mau nasibku seperti tokoh Lintang dalam novel ‘Laskar Pelangi’ yang harus menempuh perjalanan 80km pulang pergi untuk sekolah. Namun aku belum mengerti apapun saat itu. Kakek dan nenekku lalu berkunjung ke rumah kami di Riau. Kurasa, itu bukanlah kunjungan biasa. Kulihat ibuku menangis, ia memeluk dan mencium pipiku lalu ayahku juga ikut memelukku.
“Kamu baik-baik ya sayang disana, yang rajin belajarnya. Jangan nakal ya, nurut sama nenek dan kakek. Mama sama papa sayang Putri.”, kata ibuku sembari memelukku.
 Mereka antar aku ke mobil yang akan membawaku pergi dari mereka. Kupeluk lagi mereka untuk yang terakhir kali sebelum aku pergi. Saat mobil perlahan menjauh dari mereka, aku mulai sadar apa yang terjadi. Aku menangis dan meronta-ronta agar bisa kembali dengan mereka. Namun semua tidak dapat diubah, hingga air mataku mengering aku tetap tidak bisa kembali. Kucoba untuk menjalani sekolahku dengan lapang dada. Walau kedua orang tua dan adikku hanya pulang 2 tahun sekali dan saat mereka menghubungiku pun dapat dihitung dengan jari dalam setahun.
“Kamu nggak kangen ya sama orang tua kamu?”, adalah pertanyaan yang selalu kudengar dari teman-temanku. Sebuah pertanyaan yang harusnya dapat dijawab tanpa harus ditanya. Tapi aku hanya menjawab, “Ya kangen sih, tapi mau gimana lagi?”. Tetapi terkadang aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman yang menyimpan beribu arti. Ya, aku sangat sangat merindukan mereka! Tak ada satupun yang mampu menggambarkan betapa rindunya aku pada mereka. Tak ada jawaban yang benar-benar bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu.
Tetapi saat kerinduan membuncah, aku hanya bisa menangis dan menulis semua perasaan yang kurasakan di buku harian. Tak ada tempat untuk bercerita bagaimana perasaanku selama itu. Aku dihantui rasa takut. Rasa takut membuat mereka sedih dan cemas dengan keadaanku. Kucoba untuk tersenyum ditengah rasa rindu yang menyakiti sekujur tubuhku. Tak ada kasih sayang seorang ibu yang dulu mengasuhku saat aku sakit. Tak ada pelukan hangat seorang ibu saat aku kedinginan dimalam hari. Tak ada lengan kokoh seorang ayah yang memeluk disaat aku ketakutan. Yang ada hanya sunyi dan rasa rindu.
Tumbuh tanpa didampingi orang tua. Tanpa dampingan mereka disaat-saat pertumbuhanku sebagai seorang remaja.
Teringat betapa berusahanya aku membuat mereka bangga dengan selalu mendapat peringkat di kelas. Aku ingin membuktikan bahwa aku mampu. Namun tak pernah ada penghargaan atasnya. Saat aku bawa rapor milikku kerumah untuk kuperlihatkan didepan nenek dan kakekku, mereka bahkan tak mengatakan apapun. Hanya tersenyum. Hingga terbesit rasa iri dalam hatiku melihat teman yang mendapat apresiasi dari orang tua mereka, bahkan diberi ‘buah’ olehnya.
Tersemat rasa sedih dalam hati ini ketika tidak dapat merayakan hari raya Idul Fitri dengan orang tua dan adikku. Iri saat orang lain bisa merayakan dengan orang tuanya. Mereka terkadang tidak bisa pulang pada hari raya karena sebab tertentu. Kucoba menghubungi mereka, tapi hanya untuk sekedar memohon maaf di hari yang fitri tersebut saja sulit. Aku bisa memahaminya, tapi aku tetap saja merasa sedih. Menunggu mereka pulang terasa seperti berabad-abad, tak sabar rasanya ingin segera bertemu mereka. Tapi ketika mereka pulang, aku sangat bahagia. Tak ingin rasanya waktu berputar kembali. Biarlah tetap seperti itu.
Namun seiring bertambahnya umurku, semakin kusadari betapa sesungguhnya mereka menyayangiku dengan cara tak harus bersama. Mereka bekerja keras agar aku dapat bersekolah. Mereka penuhi kebutuhanku. Tak pernah mengeluh saat aku bersikap egois dengan memaksakan kehendakku. Aku tahu mereka sangat menyayangiku. Mereka selalu mendukung setiap apa yang terbaik yang kulakukan.

Ketika aku mulai menginjakkan kaki ke SMA, aku bingung. Ahirnya aku memilih mendaftar  di SMAN 9 Bandar Lampung. Aku  takut mereka tidak mengijinkan karena biayanya yang terlampau tinggi. Namun dengan tulus mereka mendukungku.
“Yang penting kakak tanggung jawab dengan apa yang kakak pilih. Pasti itu yang terbaik untuk kakak.”, ucap ayahku ketika aku mengutarakan keinginanku untuk bersekolah di SMAN 9 Bandar Lampung.
Semangatku makin terpacu agar aku diterima di SMAN 9 Bandar Lampung. Ketika diumumkan aku diterima, ayahku yang kebetulan sedang berada di Lampung memberikan selamat kepadaku. Betapa bahagia aku hingga hatiku berbunga-bunga .

Hingga kupijakkan kakiku di SMAN 9 Bandar Lampung sebagai siswanya untuk yang pertama kali. Kunikmati segarnya angin yang menerpa wajahku, perlahan membelai rambutku. Kuhirup nafas sedalam-dalamnya ditengah rindangnya pepohonan. Jantungku berdegup kencang, membayangkan senyum kedua orang tuaku yang bangga kepadaku. Tak akan kubuat mereka menyesal telah memberi kesempatan untukku sekolah di SMAN 9 Bandar Lampung.

Kini kami benar-benar telah merasakan hikmah dari apa telah kami alami selama ini. Ibuku kini bekerja sebagai Kepala Sekolah PAU D di Riau. Kilau matanya masih memancarkan cahaya kasih sayang dan guratan halus diwajahnya memancarkan kecerdasan walau kini ia tak lagi muda. Sedang ayahku masih terlihat gagah dengan kulitnya yang menghitam terbakar sinar matahari namun tetap membuatnya kokoh seakan tak termakan usia. Kami juga mendapat anggota keluarga lagi dengan lahirnya adik baruku. Kini kami bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kami. Aku  menyadari betapa berharganya pengalaman yang telah aku alami. Walaupun aku terpisah jauh dari mereka, namun menjadikan itu sebuah cambuk agar aku bisa lebih baik lagi. Karena terkadang kita tak sadar, segala sesuatu yang terjadi didunia ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Tapi percayalah bahwa dibalik semua kejadian yang menimpa, ada rahasia yang berharga. Selama ada kemauan yang kuat, segala masalah pasti bisa teratasi. Karena dunia itu letaknya ditangan, bukan dihati.

1 komentar: