Nah sekarang gw mau share ttg beberapa cerita dari buku gw “a cup of comfort for friends”. Kemaren kan di postingan sebelumnya gw cerita ttg “pujian kepada sahabat sesaat” nah sekarang gw udah ketik ulang cerita yang selanjutnya. Semoga berkesan ya ;)
Pesta kejutan
Aku sedang menantikan ulang tahunku yang kedua belas. Ibuku telah tiada sejak dua tahun yang lalu dan ulang tahun terakhirku datang dan pergi tanpa terasa. Aku ulang tahun kali ini takkan ada bedanya.
Aku juga tidak tahu hadiah apalagi yang harus kuminta. Sejak beberapa lama, sekolah telah menjadi tempat pelarianku dari rumah yang sunyi, dan aku berhasil hampir dalam semua mata pelajaran. Tapi, akhirnya aku bosan juga dengan sekolah. Hanya sedikit dalam hidup ini yang usukai atau kusayangi. Satu-satunya yang kuinginkan adalah sebuah kehidupan lain atau tidak ada kehidupan sama sekali atau menjadi Steph Hitz.
Steph hitz adalah
gadis kelas ena populer yang selalu ceria. Dimataku, ia meiliki segalanya dan segalanya dapat ia minta. Ia tinggal bersama orangtuanya serta adik perempuan yang tak pernah bertengar dengannya. Merek tinggal di sebuah rumah model kuno megah berdinding batu dengan garis-garis mirip kue jahe di dekat sungai. Aku tahu ini karena aku selalu pulang sekolah menyusuri jalan sepanjang sisi sungai Quittapahilla dan memerhatikan rumahna dari balik rimbunnya pepohonan, untuk mencapai tempat itu ita harus berjalan menyebrangi sebuah jembatan kayu. Kadang salah seekor kuda mereka berderap melintasi jembtan seakan menyambut Steph saat ia pulang sekolah. Anjing berjanggut mereka menghampirinya. Seekor ucing orange selalu mengikuti dibelakangnya. Kaang ibunya berda di kebun, memasukkan sayuran atau bunga ke keranjang yang ia bawa. Ia selalu meletakkan keranjangnya bila melihat Steph dan adik perempuan kecilnya berlari ke arahnya dengan tangan mengembang. Saat mereka berpelukan, aku akan berbalik dan berjalan pulang menyusuri sisi sungai, melompati bebatuan, dan melakukan ppun untuk menunda perjalanan pulang keruah yang sepi.
gadis kelas ena populer yang selalu ceria. Dimataku, ia meiliki segalanya dan segalanya dapat ia minta. Ia tinggal bersama orangtuanya serta adik perempuan yang tak pernah bertengar dengannya. Merek tinggal di sebuah rumah model kuno megah berdinding batu dengan garis-garis mirip kue jahe di dekat sungai. Aku tahu ini karena aku selalu pulang sekolah menyusuri jalan sepanjang sisi sungai Quittapahilla dan memerhatikan rumahna dari balik rimbunnya pepohonan, untuk mencapai tempat itu ita harus berjalan menyebrangi sebuah jembatan kayu. Kadang salah seekor kuda mereka berderap melintasi jembtan seakan menyambut Steph saat ia pulang sekolah. Anjing berjanggut mereka menghampirinya. Seekor ucing orange selalu mengikuti dibelakangnya. Kaang ibunya berda di kebun, memasukkan sayuran atau bunga ke keranjang yang ia bawa. Ia selalu meletakkan keranjangnya bila melihat Steph dan adik perempuan kecilnya berlari ke arahnya dengan tangan mengembang. Saat mereka berpelukan, aku akan berbalik dan berjalan pulang menyusuri sisi sungai, melompati bebatuan, dan melakukan ppun untuk menunda perjalanan pulang keruah yang sepi.
Tepat sebelu hari ulang tahunku yang kedua belas. Steph menguundangku main ke rumahnya sepulang sekolah. Undangannya membuatku terkejut, karena kamijarang sekali berbicara disekolah. Tapi, ia teman baik semua orang; begitulah Steph. Dengan riang aku menerima ajakannya.
Ibu Steph mengambil tas sekolahku dan menyapaku dengan senyumannya. Keramahannya membuatku ingin menangis. Dengan rangkulan hangat di bahuku, ia embimbingu ke dalam rumah. Aku terpana, interior rumah itu tampak seperti rumah boneka gaya Victorian yang kuidamkan. Ruangannya dipenuhi perabot antik dan potongan bunga-bunga segar. Lantai kayunya mengkilap, hingga aku harus menahan keinginan melepas sepatuku dan meluncur dengan kaus kakiku.
Saat Steph menanyakan apa aku mau melihat kamarnya, aku langsung mengangguk dan mengikutinya menaiki tangga. Sekali lagi aku menahan napas. Kamarnya beraroma bunga, an ranjang berkanopinya sangat tinggi hingga kita membutuhkan undakan untuk menaikinya. Sebuah rajutan buatan tangan terlipat rapi di bagian bawah ranjang. Tirai berwarna pucat terikat di sisi-sisi jendela bear tinggi. Kertas pelapis dinding bermotif bunga menghiai seluruh dinding. Kamarnya yang hangat dan ceria sangat berbeda dengan kamarku yang sempit berjendela kecil dan dinding tanpa cat.
Ia membolehkan aku naik keranjangnya lalu kami bermain ular tangga. Ia harus mengajariku lebih dahulu karena aku belum pernah memainkannya ---- atau permainan semacamnya – dirumah. Steph sangat sabar dan tidak pernah mengejekku, bahkan ketika aku melakukan kesalahn dan melupakan aturan mainnya.
Tak lama kemudian, Mrs. Hitz melongokkan kepalanya dari balik pintu. Aroma cokelat lezat mengiringinya.
“kau memanggang kue ?” tanya Steph kepada ibunya.
Mrs. Hitz tersenyum penuh rahasia kepada Steph. Lalu ia mengedipkan sebelah matanya dan menutup pintu. Kami segera membereskan mainan kami dan saat Mrs. Hitz kembali ia meminta kami keruang makan. Karena mengira itu waktu makan malam mereka maka aku membereskan barang-barangku dan bersiap pergi. Tapi sebelum aku mencapai pintu, Mrs. Hitz menuntunku keruang makan. Disana adik Steph dan ayahnya telah menunggu. Di atas meja makan telah tersusun rapi lima gelas dan lima piring keramik Cina. Pada setiap tempat duduk terdapat hiasan pesta dan topi ulang tahun.
“Kejutan !” adik perempuannya berseru seraya menggoyangkan kitiran berbunyi nyaring. Aku belum memahami apa yang terjadi sampai mereka semua berseteru “Selamat ulang tahun !!”. Saat itulah aku menyadari ini semua untukku.
Mrs. Hitz menarik sebuah kursi dan memanggilku sebagai tamu kehormatan. Kepalaku pusing, pipiku terasa panas dan mataku berlinang. Aku terisak saat mereka menyanyikan lagu “Selamat ulang tahun” dan Mrs. Hitz mengeluarkan kua berlapis cokelat dan meletakkannya dihadapanku. Mereka bertepuk tangan dan mendesakku memotong kuenya. Tanganku bergetar hingga Steph harus menolongku menaruh kue kepiring.
Kami menyantap kue yang lembut dan manis, Mrs. Hitz memberiku bingkisan terbungkus kertas bergaris kertas putih-pink di hiasi pita satin warna pink. Pipiku merona kembali, sangat gugup menerimanya. “Ayo, bukalah,” katanya.
Air mata berlinang di pelupuk saat aku membuka kertas pembungkusnya, susah payah menahan agar tak menangis. Baru sekarang aku merasakan halusnya kertas seindah itu. Bingkisan itu berisi dua sirkam dari cangkang kura-kura yang indah. Mrs. Hit mengatakan sesuatu untuk memasangnya di “rambut panjangku yang indah”. Ia berdiri di sisiku dan memasangkan sirkan tersebut di rambutku dengan lembut seakan ia memasangkan sirkm tersebut di rambut anak perempuannya sendiri. Aku tidak mampu lagi menahan air mataku. Ia membiarkan aku menenggelamkan wajahku dibahuny.”Shhh...” bisiknya seraya mengelus perlahan punggungku.
Akhirnya aku menarik diri. Hari telah gelap dan aku harus berjaan menyusuri sungai. Aku menolak mereka mengantarku pulang. Aku tak ingin mereka melihat tempat tinggalku. Sepanjang jalan aku tak memerhatikan sekelilingku. Aku berulang kali menyentuh sirkam-sirkam itu dirambutku, memastikannya tidak hilang. Aku terus memutar ulang rincian pesta ulang tahunku, mencoba mematrinya dalam ingatan. Aku ingin memceritakan kepada seseorang tapi seperti biasa, dirumahku tidak ada seorangpun. Dan akan selalu begitu bertahun-tahun.
Aku ingin mengatakn bahwa sejak hari itu aku dan Steph menjadi sahabat. Tapi sesungguhnya kami tidak pernah lebih dekat dan tak pernah lebih jauh. Tapi senyumannya dan sirkam cangkang kura-kura itu selalu membuat hatiku nyaman selama bertahun-tahun kemudian
--- Rita Marie Keller
0 comments:
Posting Komentar